Apakah Sudah Subsidi Solar Berpihak pada Nelayan Kecil dan Tradisional?

Persoalan Bahan Bakar Minyak (BBM) selamanya menjadi percakapan beragam pihak. Bahan bakar yang menyangkut keberlangsungan hidup banyak orang ini masih menjadi andalan mulai berasal dari keperluan rumah tangga, logistik, serta transportasi umum, agar kebijakan BBM tentu akan pengaruhi aktivitas perekonomian.

Subsidi BBM layaknya minyak tanah dan solar flow meter tokico menjadi keliru satu cara yang diambil alih pemerintah untuk mewujudkan harga BBM yang terjangkau, terutama bagi penduduk yang membutuhkan.

Namun, penyelenggaraan subsidi seringkali diakui tidak cukup tepat sasaran karena kurangnya pengawasan pada konsumen yang dituju, serta ada bisa saja pelanggaran layaknya penimbunan oleh orang yang tidak bertanggung jawab, agar BBM bersubsidi pada penyalur tidak mencukupi.

Solar bersubsidi bukan cuma diperuntukan bagi penduduk di perkotaan yang banyak pakai kendaraan roda dua maupun roda empat, melainkan terhitung bagi penduduk pesisir layaknya nelayan kecil dan tradisional yang pakai kapal untuk melaut. Sayangnya, nasib para nelayan untuk mendapatkan solar bersubsidi tampaknya tidak lebih baik dibandingkan penduduk lain pada umumnya.

Kurang Tepat Sasaran

Berdasarkan Peraturan Presiden No. 191 Tahun 2014 mengenai Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, terkandung rincian mengenai konsumen pengguna Jenis BBM Tertentu (Minyak Tanah dan Minyak Solar bersubsidi).

BACA JUGA  Resep Ayam Fillet Tepung Roti

Untuk usaha perikanan, dinyatakan bahwa yang berhak untuk mendapatkan solar bersubsidi adalah nelayan yang pakai kapal ikan Indonesia bersama dengan ukuran maksimum 30 GT (gross tonnage) dan pembudi kekuatan ikan skala kecil (kincir).


Menurut beberapa pihak, nelayan bersama dengan kapal berukuran 30 GT dirasa sudah tidak cukup layak untuk mendapatkan subsidi karena kapal sebesar itu biasanya dimiliki oleh industri perikanan besar, bukan nelayan kecil dan tradisional yang pada biasanya pakai kapal kecil berukuran paling besar 10 GT.

Sebagai gambaran, kapal berukuran 30 GT kisaran harganya sekitar 1-2 miliar rupiah bersama dengan kekuatan jelajah sampai puluhan mil. Padahal, nelayan kecil dan tradisional belum tentu punya modal sebesar itu dan cuma memerlukan kekuatan jelajah paling besar sampai belasan mil.

Solar Bersubsidi Sulit Diakses

Menurut hasil monitoring yang dilakukan oleh Perkumpulan Inisiatif bersama dengan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia pada pertengahan th. 2020, setidaknya tersedia dua poin yang menjadi temuan penting mengenai akses solar bersubsidi.

Pertama, jauhnya lokasi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum/Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBU/SPBN). Berbeda bersama dengan daerah perkotaan yang bersama dengan mudah dapat ditemukan SPBU, bersama dengan jarak belasan sampai puluhan kilometer nelayan mesti berpikir kembali untuk membeli solar bersubsidi.

BACA JUGA  Arsitek renovasi kantor di Jakarta Selatan Terbaik

Akibatnya, banyak nelayan yang lebih menentukan untuk membeli solar eceran karena tidak mesti mengeluarkan cost transportasi yang besar, walaupun harga solar eceran lebih tinggi.
Kedua, kesusahan dalam permohonan surat rekomendasi.

Sebagaimana diatur dalam Peraturan BPH Migas No. 17 Tahun 2019 mengenai Penerbitan Surat Rekomendasi Perangkat Daerah untuk Pembelian Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu, surat rekomendasi dapat diajukan bersama dengan memenuhi beberapa persyaratan layaknya kartu identitas, Surat Persetujuan Berlayar (SPB), registrasi kapal, dan beberapa surat keterangan atau dokumen lainnya.

Selain itu proses ini terhitung dapat memakan saat maksimal 3 hari kerja untuk verifikasi, dan 14 hari kerja untuk penerbitan surat rekomendasi. Dengan prosedur tersebut, tidak sedikit nelayan yang mengaku kesusahan untuk mendapatkan surat rekomendasi.