Mari Kita Bahas Realita Media Sosial

Kini semenjak meletusnya kemajuan teknologi internet. Media social jadi trend yang marak digunakan oleh hampir semua kalangan, baik di perkotaan maupun tempat plosok. Apalagi kini internet dengan terlalu mudah dikases, di mana hampir setiap orang punyai smartphone, cuma di dalam hitungan detik setiap orang dengan cepat menyadari pristiwa yang berlangsung di belahan dunia. Jika dulu, kurang lebih 23 tahunan yang lalu, masyarakat Indonesia tetap mengandalkan cara meraih informasi lewat media konvensional: koran, majalah, radio dan televisi.


Menurut Asosiasi perusahaan iklan di Asia Tenggara bahwa sejak 2014 jumlah telephone genggam telah melampaui jumlah masyarakat di Indonesia. Menurut information dari Kemeninfo, pengguna internet di Indonesia tergolong banyak, yaitu capai 88,1 juta jiwa.

Di antara jumlah yang banyak itu, 79 juta di antaranya merupakan pengguna aktif media sosial. Data ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara teraktif di media sosial. Hampir beberapa kita terlibat aktif di media sosial seperti agency tiktok. Bukan cuma satu, tapi di banyak media sosial sekaligus, seperti Facebook, Instagram, Path, Twitter, YouTube, Snapchat, dan lainnya.


Teknologi informasi, terutama media sosial terlalu berpengaruh besar di dalam membentuk prilaku nyata kehidupan setiap orang. Namun, belakangan kesan yang ada, media sosial seolah jadi belantara “kebebasan digital”, di mana setiap orang sejatinya kudu cerdas jadi pengguna, terkecuali tidak, ia bakal dengan mudah dipengaruhi arus opini negatif, atau apalagi ia sendiri tanpa disadari jadi anggota dari distribusi berita negatif itu sediri.


Kesadaran dan rasa tanggungjawab sebagai pengguna media sosial jadi terlalu mutlak kita renungi bersama, terutama pada moment 10 Juni tempo hari sebagai hari media social. Hari media social bisa saja gaungnya belum menggelora, dikarenakan penetapan 10 Juni sebagai Hari Media Sosial ini baru tersedia sejak tahun 2015 kemarin.

Pencetusnya adalah seorang ahli manajemen dan pemasaran Indonesia bernama Handi Irawan D, yang pada mulanya juga mengambil keputusan Hari Marketing Indonesia dan Hari Pelanggan Nasional.
Bertepatan dengan hari media sosial, satu pekan pada mulanya Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan fatwa No. 24 tahun 2017 mengenai Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial. Terbitnya fatwa ini berdasarkan kegelisahan bakal maraknya ujaran kebencian dan permusuhan lewat media sosial.
Dalam fatwa MUI tersebut dicantumkan beberapa perihal yang diharamkan bagi umat Islam di dalam penggunaan media social .

Komisi Fatwa MUI menyebutkan, setiap Muslim yang bermuamalah lewat media sosial diharamkan laksanakan gibah (membicarakan keburukan atau aib orang lain), fitnah, namimah (adu domba), dan penyebaran permusuhan. MUI juga mengharamkan aksi bullying, ujaran kebencian dan juga permusuhan atas dasar suku, agama, ras atau antargolongan.

Haram pula bagi umat Muslim yang menyebarkan hoaks dan juga informasi bohong meskipun dengan target baik, seperti informasi mengenai kematian orang yang tetap hidup. Umat Muslim juga diharamkan menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan, dan segala perihal yang terlarang secara syar’i. Haram pula menyebarkan konten yang benar tapi tidak cocok tempat dan/atau waktunya.


MUI juga melarang aktivitas memproduksi, menyebarkan dan-atau sebabkan sanggup diaksesnya konten maupun informasi yang tidak benar kepada masyarakat. Selain itu, aktivitas buzzer di media social yang menyediakan informasi memuat hoaks, gibah, fitnah, namimah, bullying, aib, gosip dan hal-hal lain sejenis sebagai profesi untuk meraih keuntungan, baik ekonomi maupun non-ekonomi, hukumnya haram.


Dengan adanya fatwa MUI ini amatlah menyadari bahwa kini, menyadarkan kita di kehidupan modern berada di dalam dua dunia, dunia nyata dan dunia maya. Dalam konteks fatwa ini mengimbuhkan pesan kesadaran bahwa dimensi etika tidak cuma diperlukan di dalam prilaku kehidupan nyata, tapi juga di dalam berprilaku di media social.

Media sosial yang kini jadi sarana komunikasi-informasi keradaannya terlalu mutlak di dalam perspektif jenis hidup modern, kemajuan teknologi informasi telah mengimbuhkan pergantian besar pada pola berkomunikasi dan berbagi informasi.

Dengan kenyataan ini, kita masyarakat di Indonesia tetap kudu menambah kesadarannya bakal etika penggunaan media sosial. Selain berdampak positif bagi kehidupan individu, keluarga dan juga sanggup menambah branding bisnis, media sosial pun membawa efek negatif terkecuali digunakan untuk target negatif.


Dampak negatif ini banyak bertebaran terutama di dalam bidang perpolitikan, “demokrasi digital” bergerak liar di media sosial, terutama dimanfaatkan oleh “oknum” yang sebetulnya bekerja di media sosial untuk membentuk opini publik pada suatu perihal sehingga ikut mendorong keputusan dan pemikiran publik pada suatu perihal tersebut. Terkadang perkara yang jadi objek pembentukan opini publik itu hal-hal yang berupa adu domba di dalam kehidupan masyarakat yang justru berpotensi mengakibatkan konfilk horizontal di dalam kenyataan kehidupan masyarakat.


Oleh dikarenakan itu, Negara sebetulnya tidak boleh tinggal diam atas masalah ini. Sikap Negara atas masalah ini sebetulnya telah disikapi seperti perumpamaan adanya wacana pembentukan UU Media Sosial dan yang paling nyata adalah adanya kunjungan Presiden Joko Widodo ke Silicon Valley, markas media sosial terbesar di dunia waktu ini. Setidaknya perihal tersebut sebuah indikasi atas penyikapan Negara pada masalah media sosial.


Dalam jaman digital yang serba online ini sebetulnya pemerintah kudu sensitif dan serba cepat mengimbuhkan solusi, seperti halnya kehadiran transportasi online yang nampak pemerintah kedododran menanganinya sampai bentrok fisik transportasi online dan konvensional tak terhindarkan. Era digital telah mendorong dan menuntut adanya pergantian di segala bidang kehidupan, baik bidang politik, ekonomi, budaya, pendidikan dan lainnya.


Dalam bidang pendidikan misalnya, dunia pendidikan kita tidak boleh diam tanpa tindakan di dalam menyikapi perkembangan zaman yang serba digital ini. Dunia pendidikan kita kudu adanya penyesuaian pada perkembangan teknologi terkini, terutama teknologi digital, seumpama saja mutlak adanya penanaman budaya digital sebagai bekal pembentukan masyarakat digital yang lebih dewasa dan bertanggung jawab.