Proses Perceraian Berdasarkan Hukum di Indonesia

Dalam pernikahan, perceraian merupakan suatu moment yang kadang tidak bisa dihindarkan oleh pasangan menikah, baik mereka yang baru saja menikah atau mereka yang sudah lama menikah. Perceraian merupakan keliru satu sebab putusnya ikatan perkawinan di luar sebab lain yakni kematian dan atau atas putusan pengadilan seperti yang terkandung di didalam Pasal 38 UU Perkawinan. Dalam perihal perceraian bisa dijalankan dan diputuskan bila punya alasan-alasan, baik berasal dari pihak suami maupun istri.

Saat berproses atau berperkara di pengadilan, baik itu di Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri, terlalu disarankan pihak penggugat dan pihak tergugat bisa didampingi oleh advokat (pengacara). Advokat selain bisa mendampingi para pihak yang beracara, ia terhitung bisa menjembatani dialog pada para pihak yang akan bercerai mengenai bersama kesepakatan-kesepakatan, seperti harta gono gini, tunjangan hidup, hak asuh anak, dan hal-hal perlu lainnya seperti Divorce in Indonesia.

Dasar hukum proses perceraian di Indonesia adalah UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Berdasarkan UU tersebut, dimungkinkan keliru satu pihak, yakni suami atau istri melakukan gugatan perceraian. Walaupun demikian, ada pembeda pada penganut agama Islam dan di luar Islam didalam soal perceraian ini.


Pasangan suami-istri Muslim bisa bercerai bersama didahului oleh permintaan talak oleh suami atau gugatan cerai oleh istri yang didaftarkan pada pengadilan agama. Untuk pasangan non-Muslim bisa bercerai bersama mengajukan gugatan cerai (baik suami maupun istri) melalui pengadilan negeri.

Perceraian Pasangan Muslim

Pasangan suami-istri beragama Islam yang keliru satunya punya niat untuk bercerai mesti tunduk pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berlaku berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

Dengan demikian, didalam proses perceraian berdasarkan KHI terkandung dua arti yakni ‘cerai gugat’ dan ‘cerai talak’. Pasal 116 KHI menegaskan perihal tersebut: “Putusnya perkawinan yang disebabkan sebab perceraian dapa terjadi sebab talak atau berdasarkan gugatan perceraian.”

BACA JUGA  test test test

Berdasarkan penjelasan Pasal 14 UU Perkawinan dan PP 9/1975 diatur tentang cerai talak yakni cerai yang dijatuhkan suami di depan pengadilan yang sesuai bersama hukum Islam. Talak menurut Pasal 117 KHI adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang jadi keliru satu sebab putusnya perkawinan. Hal berikut diatur didalam Pasal 129 KHI yang berbunyi:

Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permintaan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi daerah tinggal istri disertai bersama alasan dan juga berharap supaya diadakan sidang untuk kepentingan itu.

Mengacu pada UU Perkawinan, PP 9/1975, dan KHI bahwa seorang suami Muslim yang sudah menikah secara Islam dan punya niat menceraikan istrinya, terutama dahulu mengajukan surat pemberitahuan tentang maksud menceraikan istrinya diikuti bersama alasan-alasan. Surat pemberitahuan berikut disampaikan ke Pengadilan Agama, daerah ia berdomisili. Dengan demikian, sang suami berharap diadakan sidang oleh Pengadilan Agama untuk maksud tersebut.

Pengadilan Agama akan mempelajari mengisi surat pemberitahuan berikut dan didalam selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari akan memanggil penggugat beserta istrinya kegunaan berharap penjelasan tentang segala sesuatu yang terkait bersama maksud perceraian tersebut.

Hukum Negara Indonesia hanya mengakui talak yang diucapkan suami di depan Pengadilan Agama. Adapun talak yang diucapkan suami di luar Pengadilan Agama hanya sah menurut hukum agama. Di didalam artikel berjudul “Akibat Hukum Talak di Luar Pengadilan” (Hukum Online), Nasrulloh Nasution, S.H. tunjukkan bahwa cerai talak yang dijalankan suami di luar Pengadilan Agama sebabkan ikatan perkawinan pada suami-istri berikut belum putus secara hukum sebagaimana diatur oleh Negara.

Selain perceraian pasangan Muslim hanya bisa dijalankan di depan Pengadilan Agama, Pasal 115 KHI terhitung mengatakan bahwa perceraian bisa dijalankan setelah Pengadilan Agama berusaha dan tidak berhasil mendamaikan ke dua belah pihak. Tentang perihal ini dijalankan melalui mediasi oleh mediator yang ditunjuk Pengadilan Agama.


Adapun cerai gugat (gugatan cerai) hanya bisa diajukan oleh istri sebagaimana terkandung didalam Pasal 132 ayat (1) KHI:

BACA JUGA  Mengapa Higgs Domino Island menjadi Populer?

Gugatan perceraian diajukan oleh istri atas kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayai daerah tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan daerah kediaman tanpa izin suami.

Gugatan perceraian itu bisa di terima bila tergugat tunjukkan atau tunjukkan sikap tidak berkenan kembali kembali ke tempat tinggal kediaman bersama (Pasal 132 ayat (2) KHI).Perceraian Pasangan Non-Muslim
Gugatan cerai pasangan non-Muslim bisa dijalankan di Pengadilan Negeri.

Sesuai bersama Pasal 20 ayat (1) PP 9/1975 bahwa gugatan perceraian diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnnya meliputi daerah kediaman tergugat. Dengan demikian, suami yang menggugat cerai istrinya mesti mengajukan permintaan ke pengadilan di wilayah daerah tinggal istrinya saat itu.

Namun, kecuali daerah tinggal atau kediaman tergugat tidak jelas dan tidak diketahui atau berpindah-pindah, gugatan perceraian bisa diajukan ke pengadilan di wilayah kediaman penggugat.
Lamanya Proses Hukum Perceraian

Muncul pertanyaan berapa lama proses hukum perceraian berasal dari pengajuan gugatan perceraian sampai adanya putusan? Berdasarkan fakta yang sudah terjadi, kebanyakan proses perceraian akan memakan saat maksimal enam bulan di tingkat pertama, baik di Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama.

Dalam buku Hukum Perkawinan Indonesia, Prof. H. Hilman Hadikusuma menuliskan bahwa kontrol gugatan perceraian oleh hakim dijalankan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas/surat gugatan perceraian diterima.

Hal berikut terhitung sesuai bersama Pasal 29 ayat (1)-ayat (3) dan PP 9/1975 bahwa didalam memastikan saat persidangan untuk memeriksa gugatan perceraian, mesti diperhatikan tenggang saat pemanggilan dan diterimanya panggilan oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka. Apabila tergugat bertempat kediaman di luar negara, sidang kontrol gugatan ditetapkan sekurang-kurangnya enam bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian itu kepada panitera pengadilan.